Tuesday, 17 January 2012

White Vengeance


White Vengeance

Kalau anda mengira film ini adalah film silat dan action yang menampilkan jurus-jurus kungfu yang keren maka anda salah besar. Film ini adalah sebuah drama, kalau boleh dibilang melo drama yang dikemas dengan peperangan. Tidak hanya sekedar perang melainkan taktik, strategi, cinta dan pengorbanan bercampur menjadi satu. Menontonnya selama dua jam tidak membuat orang bosan dan ngantuk walaupun tidak banyak actionnya.

Sebuah film kolosal dengan banyak pemain dalam peperangan dan pemandangan yang tidak natural sebagai hasil dari spesial efek yang cukup mumpuni. Sayangnya pertarungan jarak dekat tidak digarap maksimal dengan spesial efek jadinya hanya sekedar bak bik buk saja. Makanya penulis diawal tulisan sudah mengatakan bahwa film ini bukan film silat dan bahkan anda akan dibuat terenyuh, mungkin juga menangis di akhir film ini.

Xiang Yu yang dimainkan oleh Feng Shaofeng cukup baik dalam memainkan karakternya mulai dari kepintarannya bertarung sampai menangis. Liu Bang diperankan oleh Leon Lai dengan cemerlang apalagi wajahnya mendukung sebagai innocence face alias lugu. Peran-peran lain juga diperankan sangat baik.

Adu taktik ditampilkan cukup menarik melalui permainan weiji semacam catur china. Namun sayangnya tidak ada hubungannya muntah darahnya Zhang Liang dengan weiji ini karena bukan tenaga dalam atau unsur magic dalam weiji. Demikian juga karakter Fan Zheng yang buta ditampilkan dengan mata yang menutup dan terkadang terbuka dengan bola mata normal. Seharusnya mata ditampilkan dengan menutup terus atau bola mata warna putih seperti orang buta pada umumnya.

Bayangkan bahwa anda sudah merasa menang dengan mengalahkan musuh sampai musuh itu bertekuk lutut dihadapan anda bahkan ditertawakan oleh semua yang hadir. Pasti anda akan merasa puas. Namun hal itu ternyata adalah sebuah strategi. Strategi pengorbanan, kalah di awal dan menang diakhir.

Kelebihan film-film mandarin selalu menyertakan nilai-nilai filsafat yang tinggi yang jarang ada di film-film manapun baik Hollywood maupun Indonesia. Bila anda mendengar bahwa ada seseorang yang dalam waktu satu hari dapat membunuh 200.000 tentara maka anda pasti akan mengacungkan jempol tangan. Selanjutnya bila ada seseorang yang dalam waktu satu hari dapat mengalahkan 200.000 tentara tanpa membunuhnya, apa kesan anda? Mungkin jempol tangan anda tidak cukup untuk diacungkan, perlu jempol kaki untuk menambahnya.

Peribahasa mengatakan diatas langit masih ada langit. Ketika kita merasa pandai atau hebat, jangan lupa masih ada orang lain yang lebih pandai atau hebat dari kita. Xiang Yu merasa lebih hebat dari Liu Bang dan Liu Bang merasa lebih pandai dari Zhang Liang serta Zhang Liang merasa lebih cerdik dari Fan Zheng. Walaupun Fan Zheng kalah dari Zhang Liang tetapi dia punya kartu truf terakhir.

Nilai-nilai lain yang ada dalam film ini adalah win-win solution. Namun apa jadinya bila tidak ada kata sepakat ? Jangan harap yang satu adalah pemenang dan satunya lagi adalah yang kalah. Yang didapat adalah lose-lose solution.

Kisah cinta Xiang Yu dan Yu ji serta ketertarikan liu Bang terhadap Yu Ji tidak digambarkan dengan intens dan kurang digarap sehingga di awal cerita tidak menunjukkan bahwa film ini adalah kisah cinta romantis. Namun diakhir film hal tsb menunjukkan kisah seperti Romeo dan Juliet, dengan kata lain lebih baik mati dari pada kawin dengan orang yang tidak dicintai.

Dalam peperangan tidak ada yang namanya kebaikan dan kejahatan, tidak ada peran protagonis dan antagonis. Semuanya absurd. Jadi jangan heran bila di awal cerita kita mempunyai idola protagonis dan membenci peran antagonis. Diakhir cerita semuanya itu bisa terbalik.

Patut diacungin jempol bahwa model penggarapan film ini mirip model Hollywood. Sebuah kisah yang ditampilkan dengan cara flashback dan beberapa teka-teki yang jawabannya ada di menit-menit terakhir film.

No comments:

Post a Comment