Perahu Kertas
---------------------
Sebuah cara yang paling mudah dan gampang untuk membuat film dengan mengadaptasi dari sebuah novel yang telah beredar dan laris dipasaran. Orang-orang sudah membacanya dan sudah mengenal karakter tokoh-tokohnya serta alur ceritanya. Tentu saja motif ekonomi menempati posisi nomor atas dengan harapan pembaca novel tersebut akan menonton ditambah orang yang belum membaca juga menontonnya. Sebuah pangsa pasar yang jelas hitung-hitungannya.
Film ini dibuat berdasarkan adaptasi dari novel berjudul yang sama hasil karya Dee pada tahun 2009. Novel yang dilaunching pertama kalinya dengan cara yang unik yaitu dalam bentuk digital sudah ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Dee adalah nama nickname yang dipakai oleh Dewi Lestari dalam menulis karya-karyanya. Sebagai mantan personil dari group vokal RSD (Rita Sida Dewi), dia lebih dulu dikenal sebagai penyanyi dari pada penulis novel. Dia juga bertindak sebagai penulis skenario dalam film yang di sutradarai oleh Hanung Bramantyo ini. Sayangnya cerita yang diambil dari novel dengan tebal 444 halaman ini di buat dengan berseri sehingga terkesan diulur-ulur. Untuk film seri pertama ini, setidaknya mengacu pada novel sampai pada halaman 328. Baik Dee maupun Hanung keduanya menjadi cameo sebagai ibu Wanda dan penonton galery lukisan. Istilah cameo mempunyai arti seorang yang terkenal ikut main walau hanya selintas saja.
Penulis ingin mengulas tentang filmnya dulu karena penulis menonton filmnya lebih dulu dari pada membaca novelnya. Setelah itu baru mengulas kesesuaian cerita dan karakter yang ada dibandingkan dengan novelnya karena penulis sudah membaca novelnya dalam waktu 1 hari. Jadi adil rasanya untuk menilai sebuah film bagus atau tidak, sesuai atau tidak dengan ikut membaca novelnya juga.
Keenan yang diperankan oleh Adipati Dolken tampak kurang sesuai dengan keadaan fisiknya yang seperti pecandu narkoba dengan mata yang agak cekung serta cara berpakaiannya yang tidak menunjukkan bahwa dia pernah tinggal lama di belanda. Cara bicara dan logatnya sama sekali tidak menunjukkan kebarat-baratan atau kebelanda-belandaan melainkan 100 persen Jakarta banget, walaupun dalam beberapa dialog dengan ibunya menggunakan bahasa Belanda. Seharusnya meniru Wanda (Kimberly Rider) yang menggunakan dialog dengan sisipan bahasa Inggris sekali-sekali. Cara berpakaiannya sudah sesuai dengan gaya hidup yang dianutnya.
Kugy yang diperankan oleh Maudy Ayunda bermain biasa-biasa saja. Tampilan wajahnya hanya cocok untuk suasana yang gembira tetapi kurang cocok untuk suasana yang sedih atau menangis. Agak susah membedakan dia lagi menangis atau tertawa karena ekspresi wajahnya hampir sama dan kelopak mata yang hampir tak terlihat serta pipi yang cenderung tembem. Hanya air mata saja yang bisa menunjukkan dia lagi menangis. Kalau diperhatikan giginya selalu terlihat terus, padahal dalam adegan tertentu mulut yang tidak bisa menutup adalah tidak cocok.
Noni yang diperankan oleh Sylvia Fully bermain standard, tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan Eko yang diperankan oleh Fauzan Smith bermain bagus dan hidup. Walaupun porsinya sedikit namun karakternya sesuai sekali. Gaya bahasa dan cara bicaranya serta tingkah polanya terlihat menarik.
Cerita yang disajikan oleh sang penulis skenario terlihat datar dan kering serta hambar. Sang sutradara juga tidak bisa mengatasinya dengan menghadirkan keunggulan-keunggulan visual dalam film. Tidak ada konflik yang tampak disini. Orang tua yang marah karena anaknya tidak mau menuruti keinginannya sudah biasa. Anak yang minggat dari rumah itu juga sudah biasa. Seharusnya hal yang biasa ini bisa diolah menjadi hal yang luar biasa namun hal itu tidak mampu dilakukan oleh sang sutradara. Keintiman Keenan dan Kugy tidak bisa dimunculkan dan ditafsirkan dengan baik. Bosan dan jenuh karena tidak ada lonjakan intensitas dalam drama yang disajikannya.
Alur yang melompat-lompat kesana kemari tanpa ada esensi yang jelas agak membingungkan mau dibawa kemana arahnya. Mana yang Jakarta dan mana yang Bandung agak susah mencernanya. Tampak bom bali 1 seolah-olah terjadi pada malam tahun baru padahal seharusnya bulan oktober. Demikian juga disinggung mereka mau menonton film Matrix nya Keanu Reaves saat mereka sudah kuliah. Padahal film tersebut rilis pada akhir Maret atau awal April 1999 sedangkan mereka kuliah mulai bulan Agustus 1999, sudah bubar bukan ?.
Terjemahan teks bahasa Inggrisnya banyak yang salah sebagai contoh pasukan alit kadang kala diterjemahkan sebagai wind troop (pasukan angin). Terjadi pula teks yang muncul apa bicaranya apa, misalnya muncul teks go great miss Ugy, padahal dialognya bicara lain.
Setelah membaca novelnya, penulis dapat menilai ternyata apa yang ada dalam novelnya tidak seburuk seperti yang digambarkan dalam filmnya. Banyak hal yang tidak ada didalam filmnya baik yang bersifat minor maupun mayor. Ada juga penyampaian yang berbeda antara novel dan filmnya sehingga mengurangi arti otentik itu sendiri dari sumbernya.
Pertama, latar belakang Keenan yang tinggal di Belanda tidak ditampilkan padahal itulah bab pembuka dalam bukunya. Kedua, pada film pertemuan pertama kalinya Keenan dan Kugy dengan cara Kugy membathin dan mencarinya dengan tangan disamping kepala alias radar. Sedangkan pada buku, dengan cara mengumumkan melalui mikrofon stasiun. Itupun sebenarnya pertemuan yang kedua, pertemuan yang pertama dengan cara memanggil-manggil nama Keenan namun karena gengsi mereka tidak tahu.
Ketiga, pada film Kugy tidak datang pada pembukaan pameran lukisan di galery Warsita sedangkan di buku Kugy datang. Keempat, di film mereka berempat menyebut dirinya geng pura-pura ninja yang merupakan plesetan dari kura-kura ninja sedangkan di buku mereka berempat menyebutnya dengan geng midnight karena seringnya mereka nonton midnight berempat.
Kelima, pada film Remy pertama kali membeli lukisan Keenan secara langsung bertatap muka sedangkan pada buku tidak bertemu langsung karena tanpa setahu Keenan dan dia masih di Bandung. Keenam, pada film lukisan yang terjual pertama kali adalah lukisan yang dibuat di Bali sedangkan pada buku lukisan yang dibuat di Bandung.
Ketujuh, pada film Keenan belum terkenal lalu balik dari bali ke Jakarta sedangkan pada buku Keenan sudah terkenal baru balik dari Bali ke Jakarta. Kedelapan, pada film tidak terlihat keintiman antara Kugy dan remy sedangkan pada buku terlihat sangat intim.
Kesembilan, di film ada dua ide yang berbeda tentang iklan produk baru coklat sedangkan di buku ada tiga ide. Kesepuluh, di film orang yang memberikan kotak ke Noni adalah pembantunya sedangkan dibuku adalah mahasiswi baru.
Kesebelas, pada film sudah ada lukisan karya Keenan yang dipasang sebelum Kugy kerja di Advocado sedangkan pada buku setelah Kugy kerja disana. Keduabelas, di film tidak ada pamitan Kugy ke Noni sebelum pindah ke Jakarta sedangkan di buku ada pamitan Kugy.
Ketigabelas, di buku ada kecemburuan Noni kepada Kugy karena memergoki Eko merangkul Kugy setelah diumumkan lulus ujian sedangkan di film tidak ada.
Dee sebagai penulis novel dan sekaligus penulis skenarionya seharusnya mengimplementasikan semua imajinasinya yang ada dalam novel ke dalam bentuk visualnya secara lengkap karena hanya dialah yang tahu apa yang diinginkannya. Namun sayangnya duet dengan sang sutradara tampaknya tidak berhasil menggarap sama dengan novelnya. Penulis berpendapat film ini gagal mengusung roh dan jiwa dari novel itu sendiri.